Senin, 27 Desember 2010

Sejarah Sang Merah Putih



Sejarah telah membuktikan, kelompok – kelompok manusia yang bergabung menjadi satu himpunan kuat selalu memiliki tanda – tanda, lambing dan atribut. Dari peninggalan arkeologis ratusan, bahkan ribuan tahun lalu, lambang – lambing itu telah dikenal dengan wujud tunggul, panji – panji, merawal, ubur – ubur, dihuaja dan pataka. Dari bahasa asing kita akhirnya mengenal satu lagi, yakni kata “bendera”.
Bendera Negara Republik Indonesia adalah “Sang Merah Putih”. Satu hari setelah dikibarkan, undang – undang Dasar 1945 yang disyahkan pada 18 Agustus 1945 mencantumkan Bab XV pasal 35 yang berbunyi “Bendera Negara Indonesia ialah sang merah putih”. Melalui peraturan pemerintah (PP) nomor 40 tahun 1958 ditetapkan pula peraturan tentang Bendera Kebangsaan Republik Indonesia yang dimuat dalam lembaran Negara No.65/1958 tanggal 26 Juni 1958 dan penjelaasan dalam tambahan lembaran Negara no.1633.

Dalam filsafat warna merah putih terhimpun sebuah panduan harmonis. Merah berarti keberanian dan putih berarti kesucian. Dalam pola pikir dan pandangan hidup bangsa Indonesia, kedua warna itu juga mencerminkan berbagai hakekat. Merah putih menunjukkan hakekat alam makro dan mikro yang menyatukan manusia dengan bumi lingkungannya.


Jahitan Tangan

Bendera pusaka yang setiap 17 Agustus mendampingi pengibaran duplikatnya di halaman Istana Merdeka Jakarta memiliki sejarah yang sama panjangnya dengan kemerdekaan Indonesia sendiri. Bendera yang dijahit sendiri oleh tangan ibu fatmawati Soekarno dikibarkan pertama kali pada 17 Agustus 1945 seusai dwitunggal Soekarno – Hatta membacakan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.

Bendera pusaka berkibar siang dan malam di Jakarta, di tengah hujan peluru sampai saat ibukota Negara dipindahkan ke Yogyakarta. Karena aksi terror belanda semakin meningkat. Tanggal 4 Januari 1946 Presiden danwakil presiden meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta dengan kereta api.

Saat itu, bendera pusaka dimasukkan ke dalam kopor pribadi Presiden Soekarno. Selama dua tahun, bendera itu berkibar di Yogyakarta, sampai 19 Desember 1948 Belanda melancarkan agresi militer kedua. Presiden, wakil presiden dan beberapa pejabat tinggi Indonesia akhirnya ditawan Belanda. Namun, pada saat Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung, soekarno sempat memanggil salah seorang ajudannya, Mayor Laut M Husain Mutahar, ke kamar pribadinya. Sang ajudan lalu ditugaskan untuk menyelamatkan bendera pusaka. Saat itu Soekarno berucap lepada Mutahar :

“ Apa yang terjadi pada diriku, aku sendiri tidak tahu. Dengan ini aku member tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan engkau untuk menjaga Bendera kita dengan nyawamu. ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Di satu waktu, jika Tuhan mengizinkan, engkau harus mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek.
“ Andaikan engkau gugur dalam menyelamatkan bendera ini, percayakanlah tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkannya ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya”. *)


Mutahar terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa, sementara bom berjatuhan disekeliling mereka. Tanggung jawab itu sungguh berat. Akhirnya, Mutahar memecahkan kesulitan itu dengan mencabut benang jahitan tangan yang memisahkan kain merah dan putih dari bendera itu dengan bantuan Ibu Perna Dinata.

Masing – masing bagian merah dan putih dimasukkan dalam dua tas terpisah milik Mutahar serta diselipkan di antara pakaian dan perlengkapan pribadinya. Mutahar hanya berpikir, dengan memisahkannya menjadi secarik kain merah dan lainnya putih, bendera pusaka akan terhindar dari penyitaan pihak belanda.
Ketika Soekarno dibawa Belanda ke Prapat ( sekarang di sumatera utara ) lalu dipindahkan ke Bangka sedangkan Hatta langsung ke Muntok ( Bangka ), Mutahar juga diangkut dengan salah satu pesawat Dakota. Ternyata, ia dan beberapa orang lainnya dibawa ke Semarang dan ditahan di sana. Saat ditahan itulah, Mutahar berhasil melarikan diri dan naik kapal laut kembali ke Jakarta.

Di Jakarta, Mutahar menginap di rumah PM Sutan Sjahrir yang tidak ikut mengungsi ke Yogya. Beberapa hari kemudian, ia kos di jalan Pegangsaan Timur 43, di rumah R Said Soekanto Tjokrodiatmojo ( kepala Kepolisian pertama Indonesia ). Selama di Jakarta, ia selalu mencari informasi dan cara, bagaimana agar dapat segera menyerahkan kembali bendera pusaka kepada Presiden.

Sekitar pertengahan Juni 1949, pada suatu pagi Mutahar menerima pemberitahuan dari bapak Soedjono yang tinggal di aoaranje Boulevard ( sekarang jalan Diponegoro ) Jakarta yang menyebutkan, ada sebuah surat pribadi dari presiden Soekarno untuknya. Sore hari, surat itu diambil Mutahar dan ternyata benar – benar dari Presiden.
Surat itu berisi perintah agar Mutahar segera menyerahkan kembali bendera pusaka yang diterimanya di Yogyakarta kepada Soedjono sebagai perantara. Hal itu untuk menjaga kerahasiaan saat bendera pusaka dibawa dan diserahkan kepada Presiden Soekarno yang sedang dalam pengasingan di Muntok ( Bangka ).

Dalam pengasingan, Soekarno hanya boleh dikunjungi anggota delegasi Republik Indonesia dalam perundingan dengan Belanda di bawah pengawasan UNCI ( United Nations Committee for Indonesia ), termasuk Sudjono. Mutahar sendiri bukanlah anggota delegasi.
Setelah mengetahui jadwal keberangkatan Soedjono ke Bangka. Mutahar meminjam mesin jahit tangan milik seorang istri dokter. Bendera pusaka yang terpisah itu dijahit kembali, dengan persis mengikuti lubang bekas jahitan aslinya. Meski dilakukan dengan sangat hati – hati, tak urung terjadi juga kesalahan jahit sekitar 2 cm di bagian ujungnya.

Bendera pusaka yang telah dijahit kembali itu lalu dibungkus dengan kertas koran agar tidak mencurigakan. Soedjono berhasil dengan selamat menyerahkan bendera pusaka itu kepada Presiden Soekarno seperti apa yang diperintahkan. Berakhirlah drama penyelamatan bendera pusaka dan sejak itu Mutahar tad lagi menangani masalah pemgibaran bendera pusaka sperti yang dijalaninya sejak tahun 1946.

Tanggal 6 Juli 1949, Presiden Soekarno dan wakil Presiden Mohammad Hatta kembali ke Yogyakarta dari Bangka dengan membawa serta bendera pusaka. Tanggal 17 Agustus 1949, bendera pusaka kembali dikibarkan di halaman Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta. Naskah pengakuan kedaulatan Indonesia ditandatangani 27 Desember 1949 dan sehari setelah itu, 28 Desember 1949, Soekarno kembali ke Jakarta untuk memangku jabatan Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Setelah empat tahun ditinggalkan, Jakarta pun kembali menjadi Ibukota Republik Indonesia. Hari itu juga, bendera pusaka dibawa kembali ke Jakarta.

Untuk pertama kalinya setelah proklamasi kemerdekaan, bendera pusaka kembali dikibarkan di Jakarta. Pada peringatan detik – detik proklamasi 17 Agustus 1950, bendera pusaka berkibar dengan megahnya di puncak tiang 17 di halaman Istana Merdeka. Bendera pusaka itu terus dikibarkan setiap tahun sampai 1968.
Sebagai penghargaan atas jasa – jasanya menyelamatkan bendera pusaka, tahun 1961 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Mahaputra kepada M. Husain Mutahar. Penyematan bintang jasa dilakukan sendiri oleh Presiden Soekarno sebagai pemimpin tertinggi dan orang yang memberi kepercayaan langsung kepada Mutahar.

0 Comment:

Posting Komentar

News