Senin, 27 Desember 2010

Abdul Latief Hendraningrat



PEWARIS TAPAK – TAPAK PENGIBARAN BENDERA PUSAKA

Jumat pagi 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Ir. Soekarno didampingi Drs. Mohammad Hatta baru saja membacakan pernyataan proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Yang terjadi kemudian memang tidak pernah direncanakan atau diperintahkan. Ibu Fatmawati yang menjahit sendiri bendera merah putih dengan tangannya, menyerahkan bendera itu kepada dua orang pemuda.

Seorang pemuda yang sampai saat ini tak tercatat namanya menggunakan kemeja lengan pendek dan celana pendek longgar. Sementara yang satu lagi memagai seragam PETA (Pembela Tanah Air), lengkap dengan atribut, topi pet dan pedang panjang. Dialah pemudah Abdul Latief Hendraningrat yang menggerek bendera ke puncak tiang. Dengan gagahnya, bendera berkibar melambai – lambai di angkasa Indonesia ditiup angin pagi.
Latief adalah salah seorang pemuda Indonesia yang pertama kali mengibarkan bendera pusaka. Ia telah mengibarkan lambang kebanggaan bangsa itu dengan semangat kepahlawanan, tanpa dikawal pasukan, tanpa formasi dan tanpa aba – aba. Namanya memang cenderung tidak pernah disebut – sebut orang, tapi ia adalah satu dari sekian banyak pemuda yang mengambil peran dalam proklamasi kemerdekaan.

Dilahirkan di Jakarta dari keluarga RM Said Hendraningrat, 15 Februari 1911. Abdul Latief Hendraningrat pernah mengecap pendidikan di sekolah dasar Europese Ingere School (ELS) di Jakarta. Pasuruan dan Cianjur. Sekolah menengah juga dijalaninya lewat MULO (serta SMP) di Bandung dan Surabaya. Serta AMS-B (setara SMA) di Malang.

Latief termasuk beruntung karena di zaman penjajahan Belanda masih bisa menikmati pendidikan secara lengkap. Seusai menamatkan AMS-B, Ia berhasil meneruskan sekolah sekolah ke Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Jakarta. Enam tahun sebelum proklamasi kemerdekaan, Ia juga sempat menimba ilmu di Teacher College di Columbia University New York.

Sejak muda, Latief memang aktif sebagai anggota perkumpulan Indonesia Moeda dan Soeryawirawan (kelompok kepanduan Partai Indonesia Raya). Tahun 1939, bahkan ia sempat memimpin rombongan kesenian Hindia Belanda dalam event New York World Fair I di Amerika serikat.

Dalam sejarah pemerintahan, Latief pernah menjabat Wedana Betawi. Dalam profesinya, ia juga pernah mengabdikan diri di dunia pendidkan sebagai guru bahsa Inggris di Perguruan Rakyat dan Muhammadiyah Jakarta. Pada saat pendudkan Jepang, ia masuk Chou Zeinen Kurunzo se Jawa, lalu masuk PETA di Jakarta sebagai Chu Dancho pada tahun 1943.

Setelah kemerdekaan, pada kurun waktu tahun 1952 – 1957, Latief menjadi Atasan Militer RI di Manila dan Washington. Selama setahun setelah itu (1957 – 1958) ia ditunjuk sebagai direktur Sekolah Staf Komando Angkatan Darat (Seskoad), lalu menjadi sekretaris Militer Presiden pada tahun 1959.
Dalam dunia politik, Latief tercatat sebagai anggota DPR – GR pada periode 1960 – 1965. Setelah itu, ia kembali terjun ke dunia yang lama ditinggalkannya, pendidikan, dengan menjadi rector IKIP Rawamangun Jakarta selama satu tahun (1965 – 1966).

Dunia militer, pendidikan dan social kemasyarakatan agaknya tetap menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam hidup Latief. Saat tidak lagi menjalani tugas Negara, ia masih menyumbangkan tenaga dan pikirannya bersama rekan – rekan angkatan ’45 di Markas Komando Djawa (MBRD) dan bersedia ditunjuk sebagai ketua umum yayasan 19 Desember 1948.

Yayasan yang dipimpinnya berhasil merampungkan pembangunan dua monument Perang Rakyat Semesta, masing – masing di Boro Kulon progo (Yogyakarta) yang diresmikan Wakil Presiden Adam Malik pada tahun 1982 dan di Kepurun Menisrenggo, Klaten (Jawa Tengah).

Senin malam, 14 Maret 1983 pukul 21.00 WIB, Latief Hendraningrat meninggal dengan tenang pada usia 72 tahun di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta. Selama dua minggu sebelumnya, ia sempat dirawat karena penyakit usus buntu.
Dengan pangkat kemiliteran terakhir Brigadir Jenderal dan dinaikkan menjadi Mayor Jenderal, jenazah Latief Hendraningrat disemanyamkan di rumah kediaman Jalan Mangunsarkoro Jakarta Pusat sebelum dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Upacara kemiliteran dipimpin oleh Menko Kesra Surono yang saat itu juga menjadi ketua umum Dewan Harian Nasional Angkatan ’45.

Almarhum Latief meninggalkan seorang istri serta seorang putra dan tiga putri. Tapi, dalam sejarah perjalanan bangsa, ia sebenarnya meninggalkan jejak – jejak yang demikian banyak dan panjang, seperti juga ia meninggalkan tapak – tapak pengibaran bendera pusaka kepada Paskibraka.

3 Comment:

Dasman Djamaluddin mengatakan...

Mengundang Bapak/Ibu/Saudara untuk hadir di acara:

BEDAH BUKU

"Abdul Latief Hendraningrat Sang Pengibar Bendera Pusaka 17 Agustus 1945"

Pembicara:
Dr.Rushdy Hoesein (Sejarawan)
Dr.Nidjo Sandjojo,M.Sc (Penulis Buku)
JJ.Rizal (Sejarawan)

Moderator:
Dasman Djamaluddin,SH,M.Hum (Sejarawan)

Sabtu, 15 Oktober 2011
Pukul 10.00 - 12.00 WIB
Gedung Joang 45, Jl.Menteng Raya 31
JAKARTA PUSAT

Info/konfirmasi: Tutiek 087877433399

Anonim mengatakan...

makasih ya ini akan menjadi pelajaran bagi saya

Nilam mengatakan...

izin save gambarnya ka

Posting Komentar

News