Senin, 24 Januari 2011

Garam Dan Telaga

Suatu ketika, hiduplah seorang tua yang bijak. Pada suatu pagi. Datanglah seorang anak muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya tidak pasti dan muka yang kalut.

Pemuda itu memang tampak seperti orang yang tak bahagia.
Tanpa buang waktu, pemuda itu menceritakan semua masalahnya. Pak Tua yang bijak, hanya mendengarkannya dengan seksama, ia lalu mengambil segenggam garam, dan meminta tamunya untuk mengambil segelas air. Di taburkannya garam itu kedalam gelas, lalu di aduknya perlahan. “Coba, minum ini, dan katakana bagaimana rasanya…”, ujar pak tua itu.

“Asin, Asin sekali” jawab pemuda itu. Sambil meludah kesamping.
Pak Tua itu, sedikit tersenyum, ia lalu mengajak pemuda ini untuk berjalan ke tepi telaga di dalam hutan dekat rumahnya. Kedua orang itu berjalan berdampingan. Dan akhirnya sampailah mereka ke tepi telaga yang tenang itu.

Pak Tua itu kembali menaburkan segenggam garam, ke dalam telaga itu. Dengan sepotong kayu, dibuatnya gelombang seraya mengaduk – aduk dan tercipta riak air. Dan mengusik ketenangan telaga itu.

“Coba, kamu ambil air dari telaga ini kemudian minulah sedikit saja.” Saat Pemuda itu telah mereguk air itu, Pak Tua pun berkata. “Bagaimana rasanya??”
“Segar” sahut pemuda itu. “Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu??” Tanya Pak Tua lagi. “Tidak” jawab Pemuda itu.


Dengan bijak. Pak Tua menepuk – nepuk punggung si Pemuda. Ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu. “Anak muda, dengarlah baik – baik. Pahit / Asinnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. Jumlah dan rasa pahit/ asin itu adalah sama, dan memang akan tetap sama.

Tapi, kepahitan yang kita rasakan. Akan sangat bergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan. Lapangkanlah dadamu untuk menerima semuanya. Luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.

Pak Tua itu lalu kembali memberikan nasehat. “Hatimu adalah Wadah itu. Perasaanmu adalah tempat itu. Kalbumu, adalah tempat kamu menampung segalanya. Jadi, jangan jadikan hatimu itu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan itu dan merubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan.”

Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka bersama – sama belajar hari itu. Dan Pak Tua, si orang bijak itu, kembali menyimpan “segenggam garam” untuk anak muda yang lain, yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

0 Comment:

Posting Komentar

News